Senin, 21 April 2008

BERDAKWAH DENGAN LEMAH LEMBUT

BERDAKWAH DENGAN LEMAH LEMBUT


Ada sebuah buku yang sangat menarik untuk dibaca dan tentu saja untuk dikaji. Buku itu berjudul nahnu du’atun, la qudhaatun. Yang artinya, kita adalah para da’i, bukan tukang vonis (hakim). Buku ini sangat menarik jika dikaitkan dengan bagaimana menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Dakwah memiliki sifat menyeru, mengajak dan adanya proses tawar menawar (selama tidak bertentangan dengan syariat). Dalam dakwah ada beberapa kaidah yang sering dipakai yaitu: ”Memberi berita gembira, bukan menakut-nakuti”. Dan memang yang menetapkan kaidah tersebut adalah baginda Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Dari Abu Musa r.a. ia berkata : ”Rasulullah saw. setiap kali mengutus seorang dari sahabatnya untuk suatu urusan, beliau bersabda, “ Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari, permudah dan jangan mempersulit”.

Oleh Karena itu, jika di dalam buku tersebut diceritakan bahwa ada sekelompok dai yang senang memvonis, jelas hal tersebut tidak sejalan dengan kaidah dakwah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. Bahkan di dalam Al-Qur’an dengan terang benderang telah dijelaskan kepada kita bahwa dengan pendekatan dakwah yang baik (billati hiya ahsan), seorang yang tadinya sangat memusuhi dakwah bisa berubah menjadi seakan-akan teman yang sangat dekat. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”. Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. Fushshilat :33-34)

Dalam bukunya, syaikhul islam ibnu taimiyah merumuskan beberapa hal yang harus ada dalam dakwah :

1. Ilmu, sebelum berdakwah ilmu harus dimiliki oleh seorang da’i. Baik itu ilmu tentang materi yang akan kita dakwahkan, ilmu tentang orang yang akan kita dakwahi (psikologinya, kondisinya) maupun ilmu tentang cara tepat dan terbaik dalam menyampaikan dakwah.

2. Rifq (lemah lembut, tapi tidak lunak).

3. Sabar, setelah kita berdakwah, kita harus sabar dalam menerima hasil dari dakwah tersebut.

Layak juga kita renungkan ungkapan seorang da’i: “kemenangan dakwah adalah bukan dengan menghancurkan setiap batu bata dari sebuah bangunan. Akan tetapi, kemenangan dakhwah yang spektakuler adalah jika da’i itu mampu mengubah setiap batu bata dari bangunan menjadi batu bata dakwah”.

Karena pada hakikatnya, umat yang menjadi obyek dakwah bukanlah umat yang kafir ( ummatun kafirahi ) melainkan umat yang muslim ( ummatun muslimah). Bahkan pada saat Nabi Musa as hendak mendakwahi fir’aun (yang nyata-nyata ingkar kepada Allah), dakwah tersebut dijalankan dengan penuh lemah lembut. sebagaimana tersurat didalam Al-Qur’an: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S. Thaha:44).

OLEH KARENA ITU DALAM MENDAKWAHI SESAMA, HARUSLAH LEMAH LEMBUT; JANGAN MAIN VONIS (MAIN HAKIM SENDIRI), MEMBUAT KERUSAKAN-KERUSAKAN BARU, JANGAN MEMBUAT ORANG LARI ATAU BAHKAN MEMBENCI DAN MEMUSUHI.

Dalam buku tarikh dikisahkan bahwa ada seorang wa’izh ( pemberi nasehat ) datang kepada khalifah harun al rasyid. Orang itu berkata dengan cara yang sangat kasar. Maka sang khalifah berkata : “ ingatlah bahwa aku tidak lebih buruk dari fir’aun dan engkau tidak lebih baik dari Musa as, sedangkan Allah telah memerintahkan Nabi Musa untuk berkata kepada fir’aun dengan cara yang lemah lembut”. Kemudian Harun Al Rasyid membaca surat thaha ayat 44 tersebut. Wa Allahu a’lam.

Disaring dari buku Ruh Baru, Taujih Pergerakan Untuk Para Kader Dakwah karya Ust. Musyaffa Abdurrahim

Tidak ada komentar: