Senin, 14 April 2008

MEMBANGUN KEMANDIRIAN UMAT

Apabila kita merenungkan kondisi umat saat ini, khususnya umat Islam Indonesia, banyak fenomena yang membuat hati kita menjadi miris karenanya. Dengan dikaruniai kekayaan alam yang berlimpah, kondisi perekonomian bangsa masih saja berada pada posisi yang tidak menggembirakan. Krisis BBM bahkan terjadi di negara yang termasuk anggota tua dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) ini. Juga di negara yang sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian ini, di tengah-tengah stabilnya produksi beras dalam negeri, bergulir isu “impor beras” yang nota bene akan membuat para petani semakin sulit untuk bernafas.

Memang banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya fenomena seperti disebutkan di atas, namun ada satu poin penting yang dapat disimpulkan, yakni, umat ini masih belum mandiri, umat ini masih senang mencari penyelesaian instan dengan bergantung kepada pihak lain. Lihat saja, ketika kita mencari tahu siapa yang melakukan eksplorasi terhadap kekayaan migas kita, tentu kita akan menemukan nama-nama perusahaan seperti Exxon Mobil, Total, Vico, Schlumberger, atau Inpex mendominasi. Peran BUMN seperti Pertamina nampaknya masih terbatas pada teknologi penyulingan serta pendistribusian produk. Juga dalam menangani krisis moneter yang membawa pada krisis ekonomi bangsa, para pengambil kebijakan di negeri ini masih ragu atau takut untuk keluar dari tekanan IMF. Padahal,kita sudah melihat contoh dari Korea dan Brazil, yang dengan kepercayaan diri mereka dapat keluar dari krisis, tanpa terlalu manut pada instruksi dari IMF.

Menyedihkan. Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini belum memiliki tekad dan mental kuat untuk mandiri dalam mengurusi bangsanya. Padahal, sesungguhnya kemandirian itu sendiri merupakan salah satu ciri umat Islam. Allah SWT telah mengajarkan kepada kita, bahwa hanya kepada Allah sajalah seorang Muslim itu bergantung. “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” (Q.S. Al-Ikhlas: 2)

Membuat Umat Mandiri

Setidaknya ada beberapa sikap mental penting yang harus kita miliki dalam rangka menumbuhkan kemandirian di dalam tubuh umat. Diantaranya adalah dengan menghilangkan mental ketergantungan kepada pihak lain, menghilangkan jiwa pengecut dan juga malas dari dalam diri kita. Islam sangat menghargai orang yang tekun bekerja dan tidak mudah bergantung pada pemberian orang lain, seperti yang termaktub dalam hadits shahih berikut:

Seseorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya, maka itu lebih baik dari seseorang yang meminta-minta kepada orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam generasi sahabat juga terdapat contoh mengagumkan mengenai sikap menghilangkan ketergantungan ini. Ketika kaum muslimin hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka dihadaokan pada masalah air bersih. Sedangkan di sana terdapat sebuah sumur, namun sumur tersebut dikuasai oleh seorang Yahudi, dan ia memperdagangkannya. Rasulullah saat itu sangat berharap dari golongan kaum muslimin ada yang mau membeli sumur tersebut. Rasulullah tidak menghendaki apabila air bersih, yang merupakan kebutuhan hidup umat, dimonopoli oleh seorang Yahudi. Dan ketika itu sahabat Utsman bin Affan r.a. membeli separuh sumur tersebut, dengan sehari untuknya dan sehari untuk orang Yahudi tersebut. Sehingga dikisahkan bahwa kaum muslimin dapat memanfaatkan air sepuas mereka pada giliran Utsman mengambil haknya.

Tentu untuk mencoba melepaskan diri dari ketergantungan orang lain ini diperlukan upaya yang keras. Karena sangat mungkin akan datang tantangan dari luar berupa tekanan pihak asing yang selama ini kita bergantung kepada mereka, atau juga tantangan dari dalam tubuh kita sendiri, berupa munculnya rasa malas.

Untuk mengatasi tantangan dari luar, Allah SWT telah memerintahkan kita untuk tidak bersikap lemah. Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. Ali-Imran: 139)

Sedangkan untuk mengatasi rasa malas ini, Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa meminta perlindungan kepada Allah SWT untuk mengatasi rasa malas ini. Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai masalah yang melanda umat saat ini, sudah saatnyalah kita berupaya keras dengan kekuatan sendiri, dan tidak terlalu mengandalkan ketergantungan dari pihak asing.

Kepada para pengusaha dan pengatur kebijakan pangan, batalkanlah rencana untuk mengimpor beras, karena sesungguhnya data di lapangan menunjukkan terjadi surplus cadangan beras 1,6 juta ton tahun ini. Belilah beras yang dihasilkan dari keringat para petani bangsa kita untuk memenuhi cadangan beras.

Kepada para ilmuwan, teknokrat, dan kaum akademisi, jangan pernah letih untuk berpikir dan berkarya untuk dapat menguasai teknologi, dalam rangka mengolah sendiri kekayaan alam yang Allah karuniakan kepada bangsa kita. Mari kita manfaatkan sumber energi alternatif, seperti misalnya energi matahari yang menyinari negeri kita dengan melimpah sepanjang tahun, untuk mengatasi krisis energi di tanah air..

Kepada seluruh kaum muslimin Indonesia, mari kita tegakkan benar-benar rukun Islam yang ketiga, yaitu zakat. Tunaikanlah zakat, kelolalah dananya dengan profesional. Sesungguhnya, potensi zakat kaum muslimin Indonesia yang besarnya senilai dengan 19 trilyun rupiah per tahun, benar-benar dapat menjadi pilar penopang kekuatan ekonomi rakyat, apabila dikelola dengan profesional.

InsyaAllah kita memiliki potensi yang besar untuk bisa menjadi umat yang mandiri. InsyaAllah dengan upaya keras dari dalam diri kita, disertai izin dari Allah SWT, kita dapat menjadi umat yang mandiri. Karena, Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Rad: 11)